Sunday, 13 September 2009

Batik, Menuju Pengakuan Dunia

Minggu, 13 September 2009 | 09:15 WIB

Akhir pekan lalu beredar SMS yang menyebutkan, pada 2 Oktober United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization atau UNESCO akan mengumumkan batik Indonesia sebagai warisan budaya dunia tak benda (intangible cultural heritage/ICH). Kabar itu disambut gembira, antara lain oleh organisasi pencinta kain adati Wastraprema.

Situs UNESCO (unesco.org) menyebutkan, Intergovernmental Committee for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage akan bersidang di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, 28 September-2 Oktober, untuk menentukan ICH.

Batik Indonesia termasuk yang didaftarkan untuk mendapat status ICH melalui kantor UNESCO di Jakarta oleh kantor Menko Kesejahteraan Rakyat mewakili pemerintah dan komunitas batik Indonesia, pada 4 September 2008.
Bila permintaan Indonesia diterima dan kemungkinan besar akan diterima, batik menjadi warisan ketiga Indonesia yang terdaftar dalam Intangible Heritage of Humanity UNESCO, setelah wayang dan keris.

Batik sebagai teknik merintang warna bukan khas Indonesia. Maestro batik Iwan Tirta dalam bukunya, Batik, A Play of Light and Shades (Gaya Favorit Press, 1996), menyebutkan, batik boleh jadi berkembang bersamaan di beberapa tempat di dunia. Batik di Jawa menjadi sangat halus karena coraknya berkembang luas, metode pewarnaan sangat maju, dan ada penyempurnaan teknik. Canting yang memungkinkan pembuatan motif, misalnya, sangat halus berkembang di Jawa. Termasuk teknik pewarnaannya.

Cikal bakal batik bentuknya lebih sederhana. Kain simbut dari Banten adalah salah satu batik paling awal, menggunakan bubur nasi sebagai perintang warna (Iwan Tirta, Batik, A Play of Light and Shades). Kain ma'a dari Toraja di Sulawesi Tengah juga memakai bubur nasi. Karena Toraja terisolasi di pegunungan, para ahli menduga kemungkinan besar batik itu asli dari sana, tidak dipengaruhi India. Hal ini memunculkan teori boleh jadi Indonesia juga melahirkan batik pertama.

Masih hidup

Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage UNESCO 2003 mendefinisikan ICH sebagai praktik, representasi, ekspresi, serta pengetahuan dan keterampilan yang oleh komunitas, kelompok, dan dalam beberapa kasus juga individu mengakui sebagai bagian warisan budaya mereka. ICH adalah tradisional dan masih dipraktikkan, terus dikreasikan, dan diturunkan ke generasi berikut, umumnya secara lisan.

Iwan Tirta menyebut, pada akhir abad ke-19 seorang akademisi, Rouffaer, melaporkan motif batik sehalus gringsing sudah diproduksi pada abad ke-12 di Kediri, Jawa Timur. Corak seperti sisik ikan adalah salah satu motif tersulit dan dia menyimpulkan, besar kemungkinan motif itu dibuat memakai canting.

Dalam perkembangannya batik memiliki keterkaitan kuat dengan seni wayang, tari, dan lagu. Karena itu ragam hias batik Indonesia memiliki ciri yang terkait dengan komunitas pembuatnya, sebagian menggambarkan suasana zaman, merekam alam sekitar, dan diproduksi untuk keperluan komersial, tetapi sebagian yang lain memenuhi kebutuhan adat dan tradisi.

Pengakuan UNESCO akan membawa tanggung jawab kepada pemerintah dan komunitas untuk sungguh memerhatikan batik, termasuk pewarisan kepada generasi baru, memastikan dipenuhinya hak pembatik, dan pembuatannya tak merusak lingkungan, seperti disyaratkan Konvensi. (Ninuk MP)



Sumber : Kompas Cetak

0 comments:

Post a Comment

Followers